Sabtu, 06 Agustus 2011

HARGA BERAS

Harga beras tak perlu ditekan
Oleh Sepudin Zuhri
Published On: 01 August 2011
JAKARTA: Harga beras yang terus bergerak naik tidak perlu ditekan, karena dapat mengurangi konsumsi perkapita, sedangkan bagi masyarakat miskin dibantu melalui alokasi beras rakyat miskin (raskin).

Mantan Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih berpendapat pemerintah tidak perlu menekan harga beras, karena hal itu dapat menurunkan konsumsi perkapita.

Menurut dia, swasembada beras dapat dicapai melalui intervensi permintaan yaitu menurunkan konsumsi perkapita yang saat ini mencapai 139 kg perkapita per tahun, tertinggi di dunia.

Hal tersebut, kata dia, dibarengi dengan kebijakan pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada Bulog dalam menyerap beras petani dengan harga pasar, sehingga Bulog tidak kesulitan untuk mendapatkan beras sebanyak 3 juta ton setahun.

“Biarkan saja harga naik. Dengan demikian orang akan mengurangi konsumsi beras. Masyarakat menengah ke atas akan mengurangi konsumsi beras, sedangkan rakyat miskin tetap dijamin dengan raskin,” ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan kemarin.

Dia menilai pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan beras. Berdasarkan data BPS, ada surplus beras dan peningkatan produksi padi tahun ini, kata dia, di sisi lain pemerintah memberikan izin impor beras dengan kuota 1,6 juta ton pada tahun ini.

Bungaran berpendapat jika berniat swasembada dan tidak impor beras, maka pemerintah harus membuat harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras fleksibel. “Artnya Bulog dapat membeli pada harga pasar sampai mendapatkan 3 juta ton beras setahun, kalau sudah ada 3 juta ton disetop pengadaan. Kalau produksi [gabah] nasional cukup ngapain impor.”

Dia menambahkan dengan pernyataan pemerintah bahwa ada surplus produksi beras, berarti sudah swasembada, sehingga tidak perlu impor beras. Menurut dia, impor beras disebabkan ketidakmampuan Bulog dalam membeli beras dan gabah dari petani di dalam negeri.

Seharusnya Bulog juga membeli beras dan gabah petani dengan harga pasar dibandingkan dengan membeli beras dari luar negeri, karena uang dapat berputar di domestik. “Izinkan Bulog membeli dengan harga pasar sampai dia mendapatkan 3 juta ton, jadi dia jangan dibatasi dengan harga tetapi dibatasi dengan jumlah,” jelasnya.

Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No.8/2011 yang memperbolehkan Bulog membeli dengan harga pasar di daerah setempat. Namun, Inpres itu keluar pada April tahun ini, padahal panen dimulai pada Februari 2011, sehingga Inpres itu dinilai terlambat.

“Sudah ditentukan HPP, jadi bukan salah Bulog. kenapa Bulog diikat tangan dan kaki dengan HPP, sehingga tidak dapat membeli [beras].”

Bungaran menambahkan pemerintah tidak mengizinkan Bulog membeli beras di dalam negeri, tetapi mengizinkan untuk impor. “Ini pemerintah tidak konsisten. tetapi masih mengimpor, di mana logikanya. Padahal, karena Bulog tidak dimampukan untuk mendapatkan stok itu, HPP siapa yang membuat ya pemerintah juga.”

Menurut dia, Inpres tersebut seharusnya keluar pada Desember 2010, sehingga Bulog dapat memaksimalkan pengadaan tahun ini.

Dia meragukan data surplus beras, karena harga di dalam negeri terus bergerak naik. Seharusnya sesuai dengan hukum ekonomi, lanjutnya, maka jika ada surplus, harga tidak perlu naik. “Jadi, datanya salah. Ada beras, dibilang kelangkaan juga ada beras, yang menengah ke atas mengurangi konsumsi, sehingga konsumsi nasional berkurang.

Vietnam dan Thailand mampu menjadi eksportir beras, karena konsumsi komoditas itu di kedua negara itu rendah. Jika konsumsi beras perkapita di dalam negeri hanya 100 kg per tahun, menurut dia, maka Indonesia dapat mengekspor beras sebanyak 7 jtua ton.

Dia menegaskan jika ingin swasembada beras, maka jangan hanya memikirkan untuk meningkatkan produksi, tetapi juga harus mengurangi konsumsi. Jika orientasi meningkatkan produksi, kata dia, maka dapat merusak lingkungan seperti penambahan lahan, penggunaan pupuk dan pestisida yang terus meningkat.

“Jadi itulah, kalau menurut saya ada inkonsistensi dalam kebijakan perberasan kita, maka kita kesulitan, kita tidak perlu impor, kalau Bulog fleksibel membeli dalam harga pasar sampai dia mendapatkan stok sampai 3 juta, rakyat miskin tertolong dan rakyat menengah ke atas bairkan harga beras mahal.”

Menurut dia, kondisi sekarang ada kecenderungan pemerintah akan mengambil alih peran atau kembali seperti pada masa orde baru. “Pemerintah mau takeover, seperti mulai impor jagung, kedelai, beras, karena rakyat menunggu dari pemerintah.”

Pemerintah telah mencanangkan program Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan berbasis Korporasi (GP3K) pada lahan seluas 585.217 hektare dengan target produksi 3,67 juta ton gabah kering giling setara dengan 2 juta ton beras yang diharapkan langsung diserap oleh Perum Bulog.

Program GP3K merupakan pola kerja sama BUMN dengan petani melalui pola bayar panen (yarnen) di mana seluruh kebutuhan sarana produksi petani dibantu dalam bentuk pinjaman natura dan innatura dan dikembalikan atau dibayar oleh petani seteah panen.

Biaya lahan sawah Rp3,39 juta per ha untuk pupuk dan biaya pengoalahn, sedangkan biaya di lahan kering Rp1,79 juta per ha. Namun, jika menggunakan benih hibrida, maka biaya bertambah sebesar 30%. Adapaun kebutuhan biaya dari program GP3K pada lahan seluas 585.217 ha sekitar Rp2 triliun.

Menurut Bungaran, program itu menunjukkan pemerintah akan mengambil alih peran seperti pada masa orde baru. Padahal, perusahaan besar, kata dia, tidak lebih pintar dari petani kecil untuk tanaman padi. “Lebih pinter petani kita untuk padi.”

Dia menuturkan pemerintah telah mencoba program seperti itu melalui PT Pertamina dan PTPN, tetapi gagal. Untuk padi, lebih cocok oleh petani kecil, kendati seharusnya petani memiliki lahan sedikitnya 1-2 ha. Namun, hal itu terjadi jika sebagian besar penduduk telah pindah ke sektor jasa dan industri.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan program GP3K tidak untuk menambah lahan, tetapi hanya berupaya meningkatkan produktivitas padi.

Selain itu, melalui program itu, kata dia, Bulog akan mendapatkan kepastian pasokan beras dan gabah. Adapun, harga beli dari Bulog, kata dia, tidak lagi berdasarkan HPP, tetapi berdasarkan harga di pasar di daerah setempat melalui referensi harga dari BPS.

Winarno mengakui beberapa petani menolak untuk mengikuti program tersebut, tetapi sebagian petani lainnya bersedia untuk mengikuti program itu. (bsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar